
Menjadi mahsiswa yang jauh dari rumah “ngekost”memang cukup berat, apalagi dengan kondisi keuangan yang pas-pasan. Tapi ini bukan menjadi penghalang buat ku untuk terus bertahan bergelut dengan kondisi yang seperti ini. Dengan uang kiriman yg jika difikir sangat kurang dari ortu, maka ku harus pandai me manage keuangan ku. Ya walaupun ku bukan mahasiswa manajemen keuangan setidaknya, aku bisa belajar memanage keungan ku. Mungkin dari cara ku me manage keuangan yang sedikit ini dengan kebutuhan yang luar biasa banyaknya, kelak jika ku di beri amanah untuk menjadi menteri keuangan ku gx bingung lagi bagaimana me manage keuangan negara dengan APBN yang tidak begitu besar tapi harus memenuhi kebutuhan rkyat inonesia yg jumlahnya lebih dari 200 juta jiwa.
*Ku positive thinking za.. bahwa dg keuangan sekarang ku alami merupakan proses pembelajaran untuk masa depan.*
Berbicara mengenai fenomena kosan, wah… buanyak baget pokonya. Tapi yang pling sering dialami dan menjadi kendala adalah kondisi keuangan dan pola makan. Walaupun ada yg takut kalo tidur sendirian bahkan homesick “mbok-mbok en”.
Penampilan dan tingkah laku tiap mahsiswa kosan berbeda satu sama lain, ada yang rambunya gondrong, kekampus make celana jeans dg sobek dibagian lutut, hobi keluar malam tuk mencari hiburan malam namun ada pula yang berambut rapi, mekai celana dasar dilipat sampai diatas mata kaki serta hobi ke masjid.
**Hayo rif kamu dari dua itu yang mana? “kalo ku mah mengambil dari keduanya mana yang kuanggap baik dan nyaman serta menyenagkan buat ku”
Kalo soal makan…, ?

Kebanyakan mahsiswa kosan makanya gx teratur, bisa sehari satu kali ataupun sehari lima kali. Ini tergantung dari kantong mereka masing2. tapi, kalo aku berbeda dengan mereka. Mereka menggunkan alasan keuangan yang mennetukan mw makan apa hari ini, berpa kali dalam sehari. alsan ini tidak sama sekali ku pergunakan.
Pernah suatu ketika ada yang nanya kepadaku.. “kamu anak kos kan? Pasti gx teratur kan makanya? Udah gx usah malu… ku tahu kok isi kantong mu?”
*Sebagi mahasiwa cerdas ku jawab za…*
Jadi begini ms.. “ku mencoba menenamgkan diri dan berfikir untuk menjawab apa”
>>>aku sehari makan tiga kali, aku juga termasuk mahsiswa pecinta vegetarian. Jadi bagi ku dg isi kantong yang pas-pasan, ku masih bisa menjaga kesehatan badan untuk masa akan datang . “dalam hati.. ku bergumam.. mudah2an alasan ku masuk akal.”
*Kemudian ku menjelaskan lagi dengan gaya2mahsiwa yang meyakinkan.*
Keengganan umum menjadi vegetarian antara lain enggan jadi repot dan terbatas.
Sebagai vegetarian pemula yang masih beradaptasi, ku sering merenung: apakah ini keterbatasan, atau tantangan? 'keterbatasan' adalah gagal menemukan makanan vegetarian, lalu dengan hati masygul makan nasi pakai sayur dan sambal tok, sesekali melirik iri piring teman-teman yang berlimpahkan lauk-pauk. Apalagi baru jadi vegetarian beberapa bulan, segala rasa daging masih kuat bercokol di memori.
Aku tahu persis, bahkan lidah ini seperti masih bisa mengecap tanpa perlu mengunyah, rasa ayam bakar, sop buntut, gule kambing, dan udang goreng.
'Tantangan' adalah menghadapi situasi dan piring yang sama dengan penuh kemenangan. Dan demikianlah upaya ku menyikapi hidup vegetaris. Menjadi vegetarian adalah tantangan dalam satuan hari. Besok adalah tantangan baru, dan seterusnya. Tantangan mengubah persepsi keterbatasan menjadi permainan seru yang dengan serius menantang ku untuk terus menggali etika bermanusia dalam konteks realitas hari ini. Tantangan ku artikan sebagai pembatasan, dan itu tidak sama dengan keterbatasan. Pembatasan adalah kesadaran aktif untuk mengurangi pilihan yang tak perlu.
Berapa banyak pilihan yang sebenarnya sanggup kita tangani? Sering juga ku renungi itu. Ketika seseorang memiliki enam mobil, dua ratus potong baju, lima puluh sepatu, adakah itu membebaskan? Saya selalu merasa ada batas tegas antara butuh dan koleksi. Ketika batas kebutuhan dilampaui hingga memasuki tahap koleksi, maka angka berapapun tak akan pernah cukup. Ketika makanan bukan lagi sarana untuk keberlangsungan hidup, tapi ajang koleksi kenikmatan indrawi, seluruh hewan di Bumi tidak akan pernah cukup. Refleks kita pasti menangkis ‘apa salahnya?’, ‘kalau ada uangnya kenapa tidak?’. Percayalah, aku pun masih menyimpan refleks yang sama. Gen primordial kita sebagai ras yang pernah berjuang antara hidup dan mati demi tidak kelaparan akan selalu mendorong kita untuk sebanyak-banyaknya menumpuk lemak dan protein.
Amati kehidupan kita sendiri: apakah pola konsumsi kita masih dalam koridor butuh, atau sudah koleksi? Setelah itu, barulah lihat kehidupan sekitar kita, dan simpulkan dengan akal sehat: apakah masih etis untuk menerapkan pola koleksi? Jika tidak, sesuatu pasti bisa kita upayakan untuk mengurangi berlebihnya pilihan, membiarkan mereka yang betulan terbatas untuk melangsungkan hidup dengan jumlah pilihan yang layak. Jumlah yang perlu kita bagi.
….******
Setelah ku jelaskan panajang lebar seperti diatas..
yang bertanya meng anguk-angukan kepala. ku yakin dia bingung dengan jawaban panjang ku diatas, bukanya malah ngerti. Karena memang ku sendiri bingung ngomong apa.. ha ha ha
Yang pasti ku coba meyakinkan za bahwa menggunakan argument “vegetarian “ merupakan argumentasi yang sangat tepat untuk menjawab dan mengatasi kondisi keuangan mahasiswa kosan yang pas-pasan atau bahasa kasarnya gx punya uang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar